Cooperative Complience, Kerangka Paradigma Berbasis enhanced relationship Untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak

Source : money.kompas.com

Kepatuhan pajak merupakan salah satu problematika sektor perpajakan yang belum berjalan secara optimal. Berdasarkan data Bank Dunia, tax ratio Indonesia masih berada pada persentase 11,5% pada tahun 2018. Angka ini masih cukup jauh dengan rata-rata dunia yang berkisar 15%. Bahkan dengan negara berpenghasilan menengah ke bawah pun mencapai 12,5%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perlu ada peningkatan kinerja perpajakan, terutama dalam aspek kepatuhan wajib pajak (WP). Tingkat ketaatan wajib pajak sangat berpengaruh terhadap perhitungan pendapatan negara yang pada akhirnya berimplikasi pada perencanaan dan pembangunan. Oleh sebab itu, tahun ini pemerintah menargetkan tingkat kepatuhan pajak mencapai 80-85% dari tahun lalu yang masih berada pada presentase 73%. Angka ini setara dengan 13,39 juta WP dari total keseluruhan sebesar 18,33 juta orang.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah reformasi baru dalam sektor perpajakan. Reformasi ini bisa diwujdukan melalui penerapan paradigma baru bernama Cooperative Complience (kepatuhan kooperatif). Paradigma ini merupakan sebuah kerangka perpajakan berbasis enhanced relationship sebagai solusi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Bahkan paradigma ini sudah diterapkan di berbagai belahan dunia. Saat ini sudah ada 20 negara yang mengaplikasikan paradigma ini. Beberapa diantaranya adalah negara-negara yang tergabung dalam OEDC, seperti Australia, Amerika Serikat, Italia, Belanda dan lainnya.

Konsep dari Cooperative Complience mensyaratkan adanya hubungan yang didasarkan atas transparansi, keterbukaan, kepercayaan, dan saling memahami antara WP, otoritas pajak dan konsultan pajak. Seiring dengan rencana penerapan kerangka kepatuhan pajak ini, Ditjen Pajak telah mengembangkan sebuah alat manajemen risiko kepatuhan atau Compliance Risk Management (CRM) yang berguna untuk memberikan klasifikasi indikator kepatuhan wajib pajak. Namun, terlepas dari semua itu, ada tiga hal utama yang perlu dipersiapkan dalam rangka penerapan kepatuhan kooperatif :

  1. Hubungan antara DJP dan WP sebagai ikatan profesionalisme yang terintegritas di bawah regulasi perpajakan yang pasti.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak memaparkan kepatuhan kooperatif/cooperative compliance merupakan kepatuhan yang memerlukan kerja sama antara pihak pemerintah, Wajib Pajak dan masyarakat. Hal ini bisa diwujudkan melalui pemberian pelayanan yang sebaik-baiknya oleh pemerintah kepada masyarakat, sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan meminimalisir timbulnya sengketa.

  1. Penerapan pilar simplifikasi sistem pajak yang meliputi aspek transparansi, efisiensi waktu, ketepatan, dan kepastian proses bisnis. Penerapan ini diwujudkan dengan memanfaatkan pembaruan standart operating procedure pada berbagai layanan yang berhubungan dengan Wajib Pajak (WP)
  2. Senantiasa melakukan evaluasi untuk perbaikan hubungan DJP dan WP. Hal ini dilakukan untuk menciptakan iklim relasi yang ramah dan professional

Penerapan 3 hal tersebut akan mendorong terbentuknya sebuah transparansi antara data yang dilaporkan dalam SPT dengan data yang dimiliki oleh WP. Pada intinya, konsep dari paradigma cooperative compliance ini adalah meningkatkan hubungan dan kerja sama antara pemerintah, DJP dan WP. Adanya penerapan konsep ini akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan DJP dalam sektor perpajakan, sehingga tingkat kepatuhan masyarakat pun semakin baik dan akan mendorong peningkatan penerimaan pajak sebagaimana target yang telah ditetapkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *